JAKARTA (JM) – Elektabilitas Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merosot tajam pada akhir-akhir ini, berdasarkan survey beberapa lembaga.
Salah satu partai peninggalan orde baru tersebut, berpotensi tidak berada lagi di parlemen pada Pemilu 2024 mendatang.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas menyebutkan faktor lemahnya kepemimpinan Suharso Monoarfa menjadi salah satu penyebab turunnya elektabilitas PPP.
“Dari hasil survey SMRC pada awal Juni lalu, PPP hanya mendapatkan elektabilitas sebesar 1,4 persen. Jauh dari ambang batas parlemen sebesar 4 persen,” ujar Sirojuddin Abbas melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Sabtu (16/7/2022).
“Suharso seperti mengalami disorientasi. Tidak memiliki arah yang jelas dalam perjuangan politiknya,” lanjutnya.
Abbas menilai langkah-langkah Suharso sebagai seorang politisi sangat pragmatis.
Lebih menikmati panggung permukaan di kalangan elite, ketimbang membangun basis konstituen di bawah.
Pengamat Politik Dedi Kurnia Syah juga memiliki pandangan yang sama, terhadap kepemimpinan Suharso Monoarfa di PPP.
Menurutnya, Suharso tidak memiliki kemampuan dalam melakukan konsolidasi pada akar rumput partai.
“Dia membangun elitisme dan eksklusifitas pada dirinya. Sehingga terbangun tembok yang tinggi dengan para kader dan pemilih partai yang merupakan kelompok Islam tradisional,” katanya juga melalui keterangan tertulis kepada wartawan.
Direktur Eksekutif Indonesian Political Opinion (IPO) tersebut, bahkan menyebut untuk penyelamatan PPP, Suharso Monoarfa harus rela mundur.
“Pilihan ekstremnya mundur dan lebih fokus sebagai menteri saja. Ini demi menyelamatkan PPP ya,” imbuh Dedi.
Sementara itu Pengamat Politik dari Citra Institute Efriza, melihat Suharso tidak memiliki nilai jual jika dibanding para ketua umum (ketum) partai politik lainnya.
Kata Efriza, menghangatnya iklim politik pada beberapa bulan terakhir, tidak berhasil dimanfaatkan oleh Suharso untuk memanaskan mesin partainya.
“Selain keikutsertaan dalam KIB, tidak ada lagi peristiwa politik yang membawa nama Suharso maupun PPP. Mereka seperti hilang dan lenyap. Di saat ketum partai lain berulang kali berkomunikasi dan bersosialisasi ke daerah-daerah, Suharso seperti menjadi pelengkap saja,” terangnya ketika berbincang dengan wartawan, Jumat (15/7/2022).
Senada dengan Dedi Kurnia Syah, Efriza juga menilai perlunya ada pergantian kepemimpinan agar PPP bisa mempertahankan posisinya di parlemen pada Pemilu 2024.
“Itu perlu menjadi pertimbangan bagi para senior, pengurus dan kader PPP. Perlu ada sosok yang kuat dan memiliki nilai jual untuk membawa PPP bisa bersaing dengan partai-partai lain, terutama partai berbasis Islam,” pungkasnya.(pjs/jm)