Oleh : Syahril Mointi, Staf Pemda Gorontalo Utara
Pada salah satu media online, menguraikan secara rinci butir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( P-4 ) sebagai bagian dari implementasi pancasila itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari, dahulunya materi ini kita sering dapatkan dalam materi-materi penataran P-4 yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
Melalui Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( BP-7 ).
Mari kita tengok ke belakang sebentar…, Pasca reformasi yang berlangsung pada bulan Mei Tahun 1998, bangsa Indonesia tengah mengalami perubahan tatanan kehidupan yang mendasar, sehingga memerlukan suatu tekad dan tujuan bersama untuk mempertahankan eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara serta untuk mengembangkan diri dalam mencapai cita-cita luhur para pendiri bangsa (Founding Fathers) yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara material dan spiritual.
Gagasan luhur tersebut jika dicermati dengan seksama tetap relevan dan menjadi isu penting karena bangsa Indonesia harus menemukan nilai-nilai yang dapat memotivasi, memberi inspirasi dan mempersatukan seluruh elemen masyarakat dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Disadari sepenuhnya bahwa upaya mewujudkan cita-cita tersebut tidak mudah, karena bangsa Indonesia sangat plural dan heterogen, dengan jumlah penduduk terbesar urut ke empat dan tersebar luas, sehingga sangat rawan konflik akibat alasan yang sulit diprediksi dan mendadak.
Sebagai Nation (Bhinneka Tunggal Ika), Indonesia yang memiliki penduduk besar 237 juta jiwa penduduk (sensus Tahun 2010) dan kondisi geografis yang memiliki kandungan sumber kekayaan alam yang besar merupakan modal perjuangan yang utama.
Dalam perkembangannya, persenyawaan antara kondisi geografis dan demografis dimaknai dan dirumuskan sebagai sumber jati diri bangsa, dasar negara dan pandangan hidup bersama (Yudi Latif, 2011: 2-3).
Berdasarkan modal tersebut, melalui perjuangan yang panjang dan semangat juang serta jiwa yang luhur, para pendiri bangsa berhasil merumuskan pemikiran besar, yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan.
Rumusan semangat, pemikiran, perjuangan, dan pengorbanan untuk membangun negara dan bangsa yang utuh, akhirnya diterima dan disahkan sebagai dasar negara, ideologi, falsafah bangsa Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pancasila yang digali dari akar budaya dan nilai-nilai luhur bangsa mencakup kebutuhan dasar dan hak-hak azasi manusia secara universal, sehingga dapat dijadikan landasan dan falsafah hidup serta menjadi tuntunan perilaku seluruh warga negara dalam mewujudkan tujuan nasional.
Kesepakatan seluruh bangsa tersebut menjadi penting dan bermakna karena masyarakat, suku, kelompok maupun individu yang memiliki perbedaan ideologi, budaya, agama, bahasa, karakter serta sentimen primordial sepakat mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan individu.
Bertumpu pada nilai-nilai luhur dan ikatan sendi kehidupan tersebut, bangsa Indonesia selayaknya mampu menghayati, mengamalkan dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara guna mewujudkan tujuan nasional (Kirdi Dipoyudo, 1990 : 21,27).
Pada konteks ide atau gagasan, keberadaan Pancasila sebagai ideologi yang mempersatukan seluruh elemen bangsa secara de facto dan de yure sudah final.
Namun dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa, sejak proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 sampai saat ini, pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila mengalami ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang berat dan sulit diprediksi, yang bermuara pada ancaman disintegrasi bangsa serta penurunan kualitas kehidupan dan martabat bangsa.
Penurunan kualitas hidup dan nasionalisme tersebut terutama dalam kaitan dengan dinamika politik yang menyalahgunakan Pancasila untuk tujuan kekuasaan dan kepentingan pihak-pihak tertentu (Kristiadi, 2011 : 528).
Pancasila yang sarat dengan nilai-nilai luhur bangsa secara sistematis dijadikan sarana untuk memburu kekuasaan dan kepentingan tertentu, bahkan dipolitisir dengan mengingkari nilai-nilai Pancasila itu sendiri, baik nilai ketaqwaan, religiositas, kemanusiaan, kebhinekaan, kerakyatan, keadaban, kebersamaan, kesetiakawanan sosial, kebijaksanaan, kemufakatan, keadilan sosial dan keharmonisan.
Masyarakat pada satu sisi mendapat berkah dibidang kebebasan berpendapat dan aktivitas politik, namun sebaliknya sebagian dari masyarakat menggunakan euforia kebebasan dengan tidak mengindahkan kepentingan orang lain, menggelar aksi anarkhi dan merusak aset umum.
Dinamika situasi ini berdampak besar bagi kehidupan masyarakat yang tingkat kesejahteraannya terbelenggu oleh ekonomi yang belum pulih, terkena jebakan hambatan investasi sarana dan pasarana pendukung pembangunan ekonomi, dan mengalami keterbatasan kemampuan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Situasi tersebut pada tataran makro berpengaruh bagi kelangsungan pembangunan, karena : (a) stabilitas politik nasional terkait erat dengan ketahanan ekonomi dan ketahanan pangan; sedangkan; (b) pencapaian ketahanan pangan merupakan basis bagi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas; dan (c) pemantapan ketahanan pangan berarti terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap warga, sebagai perwujudan hak azasi manusia atas pangan.
Pada tataran praktis, ketahanan pangan yang mengalami situasi krisis karena tidak tersedianya produk domestik dengan harga yang terjangkau oleh sebagian besar penduduk serta menipisnya cadangan pangan mengakibatkan degradasi nilai-nilai yang tersirat dalam mukadimah UUD 1945 dan ideologi Pancasila.
Berdasarkan pengamatan empiris yang dilakukan para ahli, era reformasi yang telah berlangsung selama 22 tahun ini ternyata masih menyimpan agenda permasalahan bangsa yang memerlukan pemikiran, solusi dan kebijakan untuk menjaga kelangsungan pembangunan nasional.
Paradigma kepentingan nasional yang mencakup kepentingan keamanan dan kepentingan kesejahteraan, terutama kebijakan nasional penyediaan pangan harus disertai dengan pembangunan karakter yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka memperbaiki tatanan kehidupan dan menyelamatkan masa depan bangsa dan negara.
Atas dasar itu, maka isu strategis yang perlu dikedepankan dalam menanggapi perkembangan situasi nasional yaitu melakukan redefinisi, reposisi dan reaktualisasi Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah bangsa.
Dalam implementasinya pendidikan ideologi Pancasila harus dilakukan dengan serius dan konsisten oleh seluruh komponen bangsa, baik pihak eksekutif, yudikatif dan legislatif serta elemen masyarakat.
Dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila diharapkan dapat dibangun karakter bangsa yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur bangsa sehingga agenda reformasi dapat dilakukan dengan kaidah-kaidah yang benar.
Berbagai indikasi seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial, jumlah pengangguran yang kian bertambah, besarnya angka kemiskinan serta lemahnya keunggulan komparatif masyarakat dalam mengelola pertanian sebagai basis ketahanan pangan nasional akibat pengaruh liberalisasi merupakan bukti terjadinya krisis ekonomi global yang berdampak terhadap ekonomi nasional.
Perkembangan tersebut akibatnya menimbulkan iklim usaha yang tidak menentu, situasi ketidakpastian dan dapat berpotensi menjebak sektor pertanian sebagai basis ketahanan pangan nasional di masa depan (Budiman Hutabarat, 2009 : 18).
Bagi bangsa Indonesia, Pancasila telah diterima sebagai kesepakatan bangsa bersama tiga pilar yang lain yaitu UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila secara de yure telah disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah bangsa.
Rumusan Pancasila sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV terdiri dari lima sila, azas atau prinsip yaitu : 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan berlandaskan agama, budaya, mata pencaharian dan lingkungan yang heterogen, seluruh elemen masyarakat dapat menemukan kesamaan sebagai manusia Indonesia. Persenyawaan tersebut pada perkembangannya berhasil menemukan nilai-nilai dasar manusiawi yang secara konkrit digunakan untuk mengatur kehidupan bersama dalam wadah negara, yang berwujud Pancasila.
Rumusan Pancasila secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi, sedangkan sebagai dasar negara, Pancasila memiliki ciri khas yang hanya diperuntukkan bagi bangsa Indonesia.
Atas dasar itu, keberadaan Pancasila yang pada hakekatnya adalah nilai (value) yang berharga, yang memuat nilai-nilai dasar manusiawi dan nilai-nilai kodrati yang melekat pada setiap individu manusia diterima oleh bangsa Indonesia (Paulus Wahana, 2001: 73).
Mencermati nilai-nilai dasar yang melekat dalam kehidupan manusia, Notonagoro yang membahas Pancasila secara ilmiah populer, menjelaskan bahwa sesuai sifatnya manusia memiliki sifat individual dan sekaligus sebagai makhluk sosial.
Dengan memaknai nilai-nilai dasar manusiawi tersebut, wajar bahwa nilai-nilai Pancasila dapat diterima oleh seluruh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki landasan hubungan antara manusia dengan Tuhan Penciptanya, dengan sesamanya dan dengan lingkungan alamnya (Notonagoro, 1987: 12-23).
Sebagai nilai-nilai dasar manusiawi, Pancasila dalam implementasinya dapat dijabarkan kedalam nilai-nilai yang lebih khusus, lebih terperinci dan lebih operasional, sehingga dapat ditemukan dan dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Sehubungan dengan hal itu, perlu dipahami bahwa nilai-nilai Pancasila sebenarnya memiliki sifat sebagai realitas yang abstrak, umum, universal, tetap tidak berubah, normatif dan berguna sebagai pendorong tindakan manusia (Paulus Wahana, Loc. Cit : 29-33).
Kelima sila, azas atau prinsip Pancasila dapat dikristalisasikan kedalam lima dasar yaitu nilai keTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Pancasila merupakan jalinan nilai-nilai dasar dan merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya, nilai-nilai asli yang hidup, yang berasal dan berakar dari bangsa Indonesia.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara setelah ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam perkembangannya dikuatkan kembali melalui Ketetapan MPR RI No.XVIII/MPR/1998.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dapat dipandang dari tiga aspek yaitu filosofis, yuridis dan politik.
Berdasarkan aspek filosofis, Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional berisi nilai dan gagasan atau ide dasar. Sebagai dasar negara, nilai-nilai Pancasila menjadi pijakan normatif dan orientasi dalam memecahkan masalah kebangsaan dan kenegaraan, sehingga isi gagasan mengenai Pancasila dapat dijadikan jawaban tentang persoalan kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan dan Ketuhanan.
Lima prinsip dasar ini dipahami tetap relevan sebagai acuan normatif dan orientasi ketika bangsa dan negara Indonesia menghadapi persoalan serupa, meskipun dalam konteks zaman yang berbeda.
Sebagai ideologi nasional, nilai-nilai dasar Pancasila menjadi cita-cita masyarakat Indonesia, sekaligus menunjukkan karakter dan jati diri bangsa. Selama ini jati diri bangsa Indonesia diterima sebagai bangsa yang religius, bersatu, demokratis, adil, beradab dan manusiawi.
Adapun wujud dari jati diri bangsa ditunjukkan dengan kesepakatan untuk menggunakan prinsip kemanusiaan, keadilan, kerakyatan dan prinsip Ketuhanan dalam menyelesaikan masalah kebangsaan (Tilaar, 2007: 32).
Ditinjau dari aspek yuridis, Pancasila sebagai dasar negara menjadi cita hukum (rechtside), yang berarti harus dijadikan dasar dan tujuan hukum di Indonesia (Abdulkadir Besar, 2005 : 102). Cita hukum ini merupakan suatu apriori yang bersifat normatif sekaligus konstitutif, yang merupakan syarat transendental yang mendasari tiap hukum positif yang bermartabat.
Artinya tanpa cita hukum, tidak akan ada hukum yang memiliki watak normatif. Adapun jalinan nilai-nilai dasar Pancasila dijabarkan dalam hukum dasar yaitu UUD 1945, dan dalam bentuk pasal-pasal yang mencakup berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Aturan-aturan dasar dalam UUD 1945 selanjutnya dijabarkan lagi dalam Undang-Undang dan Peraturan di bawahnya. Ditinjau dari aspek sosial politik, Pancasila sebagai ideologi mengandung nlai-nilai yang baik, adil, benar, luhur dan bermanfaat sehingga diterima oleh masyarakat.
Berdasarkan pengalaman empiris, masyarakat selama ini menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai nilai bersama, sehingga Pancasila menjadi ideologi nasional bangsa Indonesia. Pada posisisinya sebagai ideologi nasional, nilai-nilai Pancasila difungsikan sebagai nilai bersama dan nilai pemersatu.
Nilai bersama dan nilai pemersatu ini sejalan dengan fungsi ideologi di masyarakat, yaitu (1) sebagai tujuan atau cita-cita bersama yang hendak dicapai oleh masyarakat, dan (2) sebagai pemersatu masyarakat dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dengan cara musyawarah untuk mufakat.
Fungsi ideologi tersebut dalam keberadaannya selaras dengan tujuan hidup bermasyarakat yaitu untuk mencapai terwujudnya nilai-nilai dalam ideologi bangsa.
Berdasarkan pengalaman sejarah dapat diketahui bahwa upaya implementasi Pancasila telah dilakukan sejak masa Pemerintahan Presiden Soekarno, yang dibagi menjadi tiga yaitu (a) tahap perjuangan 1945-1949, (b) pemerintahan RIS, dan (c) tahap setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Secara de yure upaya untuk mengimplementasikan Pancasila tersurat dalam UU No. 4 Tahun 1959 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, pasal 3 dan pasal 4 yang dengan tegas menyatakan bidang pendidikan dan pengajaran adalah untuk mewujudkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun secara de facto indoktrinasi Pancasila secara terencana dan sistematis belum dapat direalisasikan karena hambatan politik, ekonomi dan keamanan. Pada
masa pemerintahan Presiden Soeharto, implementasi Pancasila gencar dilaksanakan dengan Penataran P4 dengan tujuan agar setiap warga negara dapat memahami hak dan kewajibannya sehingga mampu bersikap dan berperilaku dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Secara institusional kebijakan tersebut juga ditempuh melalui jalur pendidikan, baik tingkat dasar, menengah hingga Perguruan Tinggi, dengan kurikulum yang berisi materi untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam hidup bernegara berdasarkan Pancasila.
Selanjutnya paradigma yang diangkat adalah menciptakan stabilitas politik yang dinamis, namun paradigma dan kebijakan yang digulirkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila.Bahkan Pancasila ditafsirkan dalam hubungan dengan kepentingan kekuasaan pemerintah yang sentralistik dan otoritarian.
Akhirnya periode ini tidak mencapai hasil yang optimal karena metode dan materi tidak tepat, dan pendidik serta penatar kurang profesional.
Pada pasca reformasi, pemahaman dan pengamalan Pancasila mengalami berbagai hambatan yang berat dan sulit diprediksi, yang bermuara pada ancaman disintegrasi bangsa serta penurunan kualitas kehidupan dan martabat bangsa.
Perkembangan yang sangat memprihatinkan itu terutama disebabkan oleh dinamika politik yang menyalahgunakan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dengan mengingkari nilai-nilai luhur untuk tujuan kekuasaan.
Perilaku politik para pemegang kekuasaan yang mengingkari Pancasila tersebut akhirnya berpengaruh pada rentannya elemen bangsa dibawahnya untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen (Kristiadi, 2011: 529).
Akibatnya Pancasila mulai ditinggalkan, tidak lagi difungsikan sebagai wacana, baik dalam forum diskusi, sarasehan, seminar maupun dalam program-program pemerintah.
Bahkan di lingkungan perguruan tinggi tidak lagi diajarkan materi Pancasila. Selanjutnya tantangan lain yang dihadapi adalah munculnya ego kedaerahan dan primordialisme sempit.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa Pancasila seolah-olah tidak lagi memiliki kekuatan untuk dijadikan paradigma dan batas pembenaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam perkembangannya, gerakan reformasi yang sebenarnya amat diperlukan, tampak tergulung oleh derasnya arus eforia kebebasan.
Sehingga sebagian masyarakat seperti lepas kendali dan tergelincir ke dalam perilaku yang anarkis, timbul berbagai konflik sosial yang tidak kunjung teratasi, dan bahkan di berbagai daerah timbul gerakan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI.
Bangsa Indonesia sampai saat ini terus dilanda krisis multidimensional di segenap aspek kehidupan, sehingga terjadi krisis moral yang mengarah pada demoralisasi.
Mencermati pengalaman sejarah perjuangan bangsa tersebut dan dalam kaitan dengan perspektif ilmu, khususnya teori fungsionalisme struktural, maka Indonesia sebagai suatu negara yang majemuk sangat membutuhkan nilai bersama yang dapat dijadikan sebagai nilai pengikat integrasi (integrative value), titik temu (common denominator), jati diri bangsa (national identity) dan sekaligus nilai yang baik dan mampu diwujudkan (ideal value).
Nilai bersama ini diharapkan dapat diterima, dimengerti, dan dihayati. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai tersebut dapat diimplementasikan oleh setiap individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sehingga dapat berperan untuk membangun stabilitas dan komunitas politik, sehingga perlu diinternalisasikan agar dapat dihayati melalui pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Implementasi Pancasila melalui pendidikan kewarganegaraan diperlukan bagi pembangunan manusia seutuhnya kedepan karena Pancasila mengandung nilai-nilai penting tentang dasar negara, ideologi dan falsafah hidup bangsa.
Ditinjau dari segi filsafat, sila-sila dari Pancasila harus dipahami dalam satu kesatuan yang utuh, sebagai satu kesatuan sistematis, yang tidak dapat diubah-ubah urutan dan tempatnya yang tersusun secara hirarkhis, karena memahami dan memberi arti setiap sila secara terpisah akan menimbulkan pengertian yang salah tentang Pancasila sebagai satu kesatuan.
Pada tataran normatif di dalam Pancasila terkandung prinsip yang sangat penting bagi usaha menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu persatuan dalam keanekaragaman yang dijiwai oleh azas Ketuhanan.
Mempedomani prinsip tersebut dalam membangun relasi sosial dalam kehidupan masyarakat perlu didasari atas sikap loyalitas terhadap keberagaman daerah, suku, agama, budaya, ideologi yang diterima sebagai kenyataan sosial untuk dikembangkan menjadi jaringan kerjasama dengan dilandasi hubungan spiritual antara manusia sebagai mahluk Tuhan, dan dalam hubungan dengan sesama serta alam sekitarnya secara harmonis.
Prinsip tersebut selayaknya diwujudkan menjadi sikap dan tindakan yang mengedapankan iman dan taqwa, segi kemanusiaan dalam bentuk gotong-royong, pemerataan dan keadilan sosial untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan kemiskinan akibat krisis yang berkepanjangan.
Mengenai konsep Pancasila, perlu dipahami bersama bahwa secara normatif tidak berubah, namun dalam kaitan dengan kepentingan politik dan kekuasaan cenderung mengalami dinamika yang multi kompleks.
Adapun tantangan sosialisasi Pancasila dalam menyiasati perkembangan situasi kedepan adalah pengaruh globalisasi yang melanda seluruh aspek kehidupan dan praktek pasar bebas, eksploitasi SKA yang membabi buta dan ancaman fundamentalisme agama.
Atas dasar itu dibutuhkan upaya konstruktif dengan berlandaskan pada interpretasi dan sosialisasi Pancasila dengan memberdayakan SDM yang cerdas dan memiliki komitmen yang kuat terhadap Pancasila, dengan memperhatikan perspektif sejarah, hidup tertib dan teratur sesuai peraturan, menanamkan sikap tenggang rasa, toleransi dan bertanggungjawab, mendahulukan kepentingan kesejahteraan dan keamanan, mengembangkan jaringan kerjasama dengan melibatkan institusi dan berbagai kalangan dan menghargai nilai serta norma sosial dalam kehidupan masyarakat.
Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila.
Perwujudan Pancasila yang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk rumusan Pancasila. Secara otentik rumusan Pancasila terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945, yang telah disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
Selain diwujudkan dalam bentuk rumusan, Pancasila juga diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku sehari-hari baik dalam kaitan dengan kegiatan sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan tersedianya peranti lunak berupa pedoman untuk mengatur, mengarahkan, proses dan cara pelaksanaan organisasi (Moedjanto, 1989: 82-86).
Sebagai sistem nilai, Pancasila merupakan cita-cita luhur yang digali, ditemukan dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa, yang menjadi motivasi bagi sikap, pemikiran, perkataan dan perilaku bangsa dalam mencapai tujuan hidupnya dan mendukung terwujudnya nilai-nilai Pancasila.
Secara formal nilai-nilai Pancasila harus diterima, didukung dan dihargai oleh bangsa Indonesia, karena merupakan cita-cita hukum dan cita-cita moral seluruh bangsa Indonesia (Paulus Wahana, Op.cit., 75-76).
Disadari bahwa rumusan Pancasila terlihat abstrak dan umum, sehingga perlu penjabaran lebih lanjut, yang dilengkapi dengan pedoman bagi terwujudnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adapun tata urutan peraturan perundangan di Indonesia diawali dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yang merupakan cita-cita hukum, dijabarkan kedalam pasal-pasal UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi, yang menjadi sumber hukum bagi peratutan perundangan yang lebih rendah.
Proses selanjutnya diharapkan norma-norma hukum dapat mewujudkan nilai-nilai Pancasila secara operasional dan nyata dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bangsa dan keamanan negara.
Pada konteks hubungan antara manusia, bangsa dan negara, ideologi berarti sebagai suatu sistem cita-cita dan keyakinan yang mencakup nilai-nilai dasar, yang dijadikan landasan bagi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupannya. Pancasila yang memuat nilai-nilai dasar serta cita-cita luhur bangsa memotivasi bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan nasional.
Sejak awal pembentukan, ideologi Pancasila merupakan ideologi dari, oleh dan untuk bangsa Indonesia. Pancasila yang merupakan falsafah dan pandangan hidup bangsa secara operasional dijadikan ideologi bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan konsensus politik yang menjanjikan suatu komitmen untuk bersatu dalam sikap dan pandangan guna mewujudkan tujuan nasional (Paulus Wahana, Op.cit. 91-92).
Nilai-nilai yang telah disepakati bersama tersebut mewajibkan bangsa Indonesia dengan segala daya dan upaya untuk mewujudkan sesuai dengan situasi dan kondisi nyata serta menghindari pemikiran dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar.
Selanjutnya sebagai ideologi terbuka, Pancasila memiliki keterbukaan, keluwesan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh seluruh golongan yang ada di Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi nasional harus mampu memberikan wawasan, azas dan pedoman normatif bagi seluruh aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial dan pertahanan keamanan serta dijabarkan menjadi norma moral dan norma hukum.
Sebagai konsekuensi dari fungsi ideologi, diharapkan dapat mewujudkan sistem ekonomi Pancasila, khususnya bidang ketahanan pangan sebagai salah satu pilar utama bagi kelanjutan pembangunan nasional.
Berdasarkan rumusan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila memiliki kedudukan sebagai dasar negara karena memuat azas-azas yang dijadikan dasar bagi berdirinya negara Indonesia.
Sebagai dasar filsafat negara, rumusan Pancasila merupakan satu kesatuan rumusan yang sistematis, yang sila-silanya tidak boleh bertentangan, melainkan harus saling mendukung satu dengan yang lain.
Pancasila harus dipahami secara menyeluruh sebagai satu kesatuan, dan dalam pelaksanaannya tidak tidak boleh hanya menekankan satu sila atau beberapa sila dengan mengabaikan sila lainnya.
Pancasila yang memiliki rumusan abstrak, umum, universal justru bertumpu pada realitas yang dapat dipahami bersama oleh seluruh bangsa Indonesia, yang tidak menimbulkan pengertian pro dan kontra. Dengan demikian Pancasila dapat dijadikan sebagai azas persatuan, kesatuan dan kerjasama bagi seluruh bangsa Indonesia.
Apabila dihayati dengn seksama, rumusan Pancasila yang digali oleh para pendiri bangsa merupakan hasil proses pemikiran yang panjang untuk menentukan jatidiri dan falsafah pandangan hidup bangsa Indonesia.
Menyikapi dinamika dan tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang multi kompleks ini maka agar falsafah pandangan hidup bangsa dapat terwujud, maka nilai-nilai Pancasila harus menjadi dasar dalam menentukan perjalanan hidup dalam mencapai tujuan nasional.
Nilai-nilai Pancasila perlu dimaknai dan diimplementasikan secara nyata dalam upaya menyejahterakan kehidupan masyarakat dan mewujudkan keadilan sosial. Berdasarkan nilai-nilai Pancasila tersebut bangsa Indonesia akan memandang persoalan-persoalan yang dihadapi dan menentukan arah serta mencari solusinya.
Dalam perspektif pembangunan saat ini dan kedepan, pemikiran yang disarankan adalah mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah pandangan hidup bangsa dengan kebijakan strategis bidang pangan untuk membangun ketahanan pangan sebagai langkah yang tepat.
Ideologi Pancasila bukan ideologi yang bersifat totaliter dan bersifat memaksa, seperti Marxisme. Ideologi Pancasila ini selayaknya disosialisasikan secara sederhana, jelas, praktis dan terus menerus, baik dalam pemikiran, perkataan, perilaku dan keteladanan, sehingga mampu menarik dan mengetuk hati setiap rakyat Indonesia. Ideologi Pancasila tetap menghormati hak individu dan martabat manusia.
Pada perkembangannya kedepan, ideologi Pancasila tidak melancarkan indoktrinasi, melainkan menggunakan cara persuasif dan dialog, sehingga mampu berperan, membimbing semua warga negara secara bersama dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara secara sadar, iklas dan menaati serta mengamalkan kelima sila dari Pancasila.
Ideologi Pancasila memaklumi adanya perubahan nilai sebagai indikator adanya dinamika masyarakat dalam mencapai tujuan nasional (Paulus Wahana, Loc. Cit., 99).
Kesimpulannya; Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai dasar manusiawi yang digali, ditemukan dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa sebagai satu kesatuan yang sistematis dan ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia.
Nilai-nilai dasar tersebut merupakan nilai-nilai moral yang secara aktual menjadi pedoman hidup bagi bangsa Indonesia. Rumuan Pancasila yang terdapat didalam Pembukaan UUD 1945 tampak abstrak dan bersifat umum, sehingga perlu dijabarkan lebih lanjut agar dapat diwujudkan.
Sebagai nila-nilai dasar dan nilai-nilai moral yang diterima sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, implementasi Pancasila sangat relevan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan keamanan melalui kepekaan dan kepedulian kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kemampuan komparatif pemberdayaan ketahanan pangan nasional.
Peningkatan kesadaran masyarakat dalam ketahanan pangan merupakan salah satu variabel strategis dalam pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas guna mewujudkan stabilitas nasional.(*)