Akhiruddin Mahjuddin
Sekretaris JMSI Aceh
Lama tak terdengar, akhirnya kasus pengadaan e-KTP memasuki babak baru. Dimana pada tanggal 3 Februari 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan upaya paksa berupa penahanan terhadap Isnu Edhy Wijaya, bekas Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) bersama Husni Fahmi, ketua tim teknis teknologi Informasi penerapan kartu tanda penduduk elektronik, PNS BPPT.
Isnu dan Husni ditetapkan tersangka oleh KPK pada Agustus 2019 bersama dua orang lainnya yaitu Miryam S Haryani, Anggota DPR RI 2014-2019 dan Paulus Tanos, Direktur Utama PT. Sandipala Arthaputra.
Sebagaimana diketahui konsorsium PNRI menandatangani kontrak bersama untuk pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012 dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 5.8 Triliun lebih, pada 1 Juli 2011. Dalam perkara ini, kerugian keuangan negara kurang lebih sebesar Rp 2,3 Triliun.
Pengadaan e-KTP merupakan salah satu proyek penting pemerintah yang membutuhkan dana besar, guna melakukan perbaikan administrasi kependudukan yang manfaatnya dirasakan oleh seluruh warga negara Indonesia yang sejatinya zero korupsi.
Sebelum penetapan tersangka baru dalam kasus e-KTP, KPK baru saja melakukan kegiatan tangkap tangan seorang hakim, panitera dan pengacara oleh Tim KPK di Surabaya. Bahkan sebelumnya lagi, dalam rentang waktu yang belum lama secara berturut tim KPK melakukan tangkap tangan beberapa pejabat eksekutif setidaknya 3 orang kepala daerah.
Gambaran di atas cukup merefleksikan cara kerja Firli Bahuri dalam memimpin KPK. Ia sangat irit bicara terkait kasus, bahkan cendrung menghindar jika ditanya. Karena itu kerja KPK lebih rapi, tak terbaca serta senyap.
Dalam kasus e-KTP ini, KPK era Firli menggambarkan pola kerja yang cendrung berbeda dalam penanganan perkara, penanganannya dilakukan dengan tuntas, termasuk siapa yang terlibat.
Cara penanganan kasus demikian sejatinya merupakan ruh penegakan hukum yaitu penegakan atas asas kepastian hukum.
Kepastian hukum ini merupakan variabel sangat penting agar setiap orang yang diduga atau disangkakan melakukan perbuatan melawan hukum tidak tersandera atas dugaan atau sangkaan yang dituduhkan padanya. Karena hal ini akan merugikan terduga atau tersangka dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu asas kepastian hukum (rechtmatigheid), asas ini meninjau dari sudut yuridis. Kemudian asas keadilan hukum (gerectigheit), asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan serta asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid atau utility).
Menurut Utrecht kepastian hukum mengandung dua pengertian; pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian hukum.
Sebagai kilas balik, dalam beberapa kasus, sebelum kepemimpinan Firli, penetapan tersangka tidak diikuti dengan adanya proses peradilan yang cepat. Tidak sedikit status tersangka harus berulang tahun disandang oleh tersangka.
Di era Firli Bahuri, tunggakan kasus oleh KPK dapat dituntaskan satu per satu. Untuk penanganan kasus baru dilakukan secara cepat dan tuntas.
Pola kerja penegakan hukum demikian ini telah menghindarkan kesewenangan pemerintah (baca: negara) atas tersangka, yang mana hal ini juga merupakan cerminan atas penghormatan pada hak asasi manusia. (*)