Oleh : Khalid Zabidi (Pengurus Pusat JMSI)
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Pol (Purn) Firli Bahuri sebenarnya adalah sosok terbuka. Seperti layaknya sebuah buku cerita, penuh bagian-bagian kisah hidupnya. Ada cerita yang kontroversi pada dirinya seperti pertemuan Firli dengan Tuan Guru Bajang yang diduga sedang terlibat kasus korupsi, atau cerita sang mantan Kapolda Sumatera Selatan itu naik helicopter setelah diangkat jadi Ketua KPK namun ada juga kisah-kisah keteladanan yang dia torehkan.
Tidak banyak yang tahu, lulusan Akpol 1990 ini melewati masa kecil dengan bergelut dalam kemiskinan, bungsu dari enam bersaudara ini ditinggal wafat ayahnya pada usia 11 tahun. Karenanya, sang ibu mendidik Firli dan saudara-saudaranya untuk hidup mandiri.
“Sewaktu SD, saya sudah bisa membeli sepatu hasil keringat sendiri dengan menyadap karet sepulang sekolah,” ceritanya saat uji kepatutan dan kelayakan calon komisioner KPK di depan Komisi III DPR-RI pada 12 September 2019.
Sedemikian keras hidupnya, setelah lulus SMA ia memutuskan masuk Akademi Kepolisian (Akpol) yang saat itu masih tergabung dalam Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Ujian pertama gagal, namun ia tidak menyerah. Akhirnya setelah enam kali bolak-balik ikut ujian, Firli dinyatakan lulus seleksi Akpol hingga menjadi Letnan Dua Polisi (saat Polri bergabung dengan ABRI) pada akhir tahun 1990. Hal ini mencerminkan karakter Firli yang gigih pantang menyerah dan bekerja keras untuk mewujudkan keinginannya. Semesta mendukung.
Menjadi Komisioner KPK
Terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua Komisioner KPK diwarnai dengan konflik internal di tubuh pegawai lembaga anti rasuah tersebut. Firli dianggap menjegal Novel Baswedan dan kawan-kawan pegawai KPK dengan tes wawasan kebangsaan (TWK). Hasil TWK adalah ke-34 pegawai lama itu tidak lulus sebagai aparatur sipil negara (ASN) sebagai aturan baru kepegawaian KPK.
Persoalan TWK ini sebenarnya dicoba untuk diselesaikan hingga ke tingkat istana, di mana Presiden memerintahkan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk merekrut 34 eks-pegawai KPK tersebut sebagai ASN Polri. Keputusan tersebut ditandatangani langsung oleh Firli, dengan resiko sosoknya menjadi sedemikian kontroversial karena dituduh publik melakukan penyingkiran para pegawai yang dinilai telah berjasa dalam pemberantasan korupsi.
Tetapi Firli tetaplah sosok yang keras dan teguh pendirian, ia mengorbankan dirinya menjadi sasaran kemarahan publik yang memihak 34 eks-pegawai tersebut.
Namun, apa yang diperkirakan publik saat meragukan kinerja KPK di bawah Firli, ternyata salah. Peran Firli sangat besar dalam pemulihan ekonomi dan penegakan hukum di era pandemi. KPK menandatangani MoU dengan berbagai lembaga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi ditingkat nasional.
KPK di bawah Firli berhasil menangani kasus korupsi yang melibatkan para menteri dan pejabat Pemerintahan Presiden Jokowi, antara lain menangkap Menteri Sosial Juliari Batubara dari PDI Perjuangan dalam korupsi dana bantuan sosial (Bansos) hingga merugikan negara Rp 2 Trilyun, kasus suap izin ekspor benur yang melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Partai Gerindra, penangkatan Dirjen Kemendagri atas penyalahgunaan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Yang heboh, tentu saja penahanan Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin dalam kasus suap, serta operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-angin yang ketahuan memiliki penjara pribadi untuk buruh kebun sawit di rumahnya yang mewah.
Penegakan Hukum dan Penguatan Demokrasi serta Kemanusiaan
Peran Ketua KPK periode kelima ini hampir setara seorang Menteri Koordinator, bagaimana tidak, dia menjadi dirigen agar penegakan hukum berjalan harmonis dengan program pembangunan, pemulihan ekonomi dan sosial pada masa pandemi agar Indonesia kembali bangkit.
Sekarang, banyak kepala daerah mengeluh karena kinerja KPK era Firli, sampai ada kepala daerah yang begitu putus asa berkata, “kalau KPK mau menangkap agar memberi tahu terlebih dahulu.”
Banyak sekali kader parpol yang marah kepada KPK dan Firli karena dianggap tebang pilih, KPK dituduh mengincar parpol tertentu, pesanan atau sengaja untuk menurunkan elektabilitas partai. Firli tidak bergeming terus menangkap para koruptor di partai manapun dan jabatan apapun tanpa ampun, jika terbukti melakukan korupsi langsung ditangkap.
Tapi lebih banyak yang senang dan mendukung kinerja Firli, kader-kader parpol yang korup dan kotor disikat oleh KPK sehingga parpol lebih bersih dan memberikan kesempatan kepada kader yang bersih dan berintegritas tinggi.
Perilaku elit parpol yang senang dan lebih mendukung kader yang banyak uang, memberikan uang untuk partai tanpa pernah mengecek darimana uang itu berasal yang membuat demokrasi di Indonesia semakin mahal sekaligus semakin buruk kualitasnya.
Kerja KPK Firli dengan pemberantasan korupsi menemukan dimensi penguatan demokrasi, dan penguatan demokrasi tentu bertujuan menyelamatkan kemanusiaan dan keadilan. Ketika masih begitu banyak rakyat yang bekerja keras mencari nafkah dengan cara halal dan baik dengan susah payah karena pandemi, di sisi lain segelintir manusia menyalahgunakan kekuasaan dengan melanggar hukum, bertindak amoral dengan hidup bergelimang harta hasil korupsi, bermewah-mewahan di tengah kesusahan saudara satu bangsa, menumpuk harta seolah-olah negara ini miliknya sendiri sehingga menginjak injak rasa kemanusiaan dan keadilan.
KPK dipimpin Firli Bahuri hadir berjuang memenangkan kembali rasa kemanusiaan dan keadilan itu kembali.
Penutup
Dengan begitu besarnya peran KPK di medan sosial politik Indonesia tidak mengejutkan apabila seorang Ketua KPK dianggap bisa menjadi pemimpin nasional yang memberi rasa aman bagi rakyat. Jika kita melihat ke belakang, ada Ketua KPK Abraham Samad yang pernah berupaya masuk ke medan politik dengan menjadi Calon Wapres pendamping Jokowi pada Pilpres 2014, namun belum berhasil mendapat tempat.
Sosok lain seperti Johan Budi, Candra Hamzah dan juga tokoh-tokoh anti korupsi lainnya yang terus berjuang di luar lembaga pemerintahan gaungnya kurang begitu kuat. Ada sosok eks-komisioner KPK yang tetap garang menyuarakan sikap anti korupsi seperti Busyro Mukodas dan Bambang Widjajanto namun tidak bisa seefektif saat menjabat di KPK.
Dengan kinerja seperti disebut di atas, apakah Firli punya kesempatan yang lebih baik di 2024?
Jawabannya hanya satu, yaitu tergantung dari konsistensi Firli untuk mencegah dan memberantas korupsi. Jika Firli terus konsisten tentu akan meningkat kepercayaan publik. Sebaliknya jika Firli surut dari cita-citanya tentang Indonesia yang bebas korupsi tentu publik akan balik badan.
Sekarang terserah bola ada di tanganmu, Jenderal!. (*)